Thursday, May 31, 2012

Seeing Imperfect Thing, Perfectly



Pernah lihat cerita tentang suku pedalaman yang tidak bisa baca tulis dan berbahasa nasional?
Saya setiap hari berinteraksi dengan mereka,
Hahahaa..

Di tempat saya ini berdiam sekitar tujuh suku pedalaman. Semuanya tersebar di atas gunung, lereng gunung, lembah, rawan longsor, terselimut kabut. Mereka bukan orang bersekolah. Tidak bisa baca tulis. Masih menggendong anaknya seenaknya dengan jaring-jaring tipis yang terlihat anak itu bisa jatuh kapan saja. Makan makanan dengan rasa hambar tidak enak, dengan kecukupan gizi yang gak usah ditanya lagi.
Mereka hidup bersama anjing dan babi peliharaannya, malah kadang saya mendapat kesan orang2 ini lebih sayang babi daripada anak kandung mereka. Saya malah pernah mendapat cerita, seorang pengemudi mobil tidak sengaja menabrak salah satu peliharaan, dan diharuskan mengganti rugi puluhan juta. Wuuah.. Haa.. Haa..

One of my favourite part is playing with native children. Mereka jarang juga yang mengerti bahasa nasional, tapi mereka sering berlama-lama menatap saya dengan kedua bola mata raksasa, antara penasaran, tapi takut mendekat.
Dengan bahasa universal seluruh penghuni jagad raya, saya berkomunikasi dengan mereka dengan: Smiling. Hahhaaa. Senyum lebar beberapa detik sampe gigi kering, dan mereka akan menghampiri saya malu-malu. Aduh susah bener dah..

One day, saya ada pasien seorang anak yang kakinya sakit tak bisa berjalan karena penyebaran infeksi, bla bla bla sehingga dia harus dirawat di RS. There's her little sister, who always love to play with me. Kenampakannya seperti anak kecil biasa, dengan puluhan karet gelang melingkar di kedua lengan kecilnya.

"Ini semua gelang. Dia (Adik) sudah kumpulkan lama. Semua warna begini. Dia (adik) suka."

Sehari- hari saya bermain dengan mereka. Menggenggam tangan legam sang kakak, menyemangati dan memarahi-nya supaya mau belajar berjalan.

Tiba suatu hari dia sudah bisa berjalan sendiri, menggunakan tongkat atau berpegangan pada apa saja di sekitarnya. Tiba juga waktunya untuk pulang. Saya seperti biasa, membekali dia pulang dengan bermacam obat dan pesan-pesan for her improvement. Saya melambaikan tangan dengan ceria, riang hati melihat salah satu pasien saya pulang dri RS dalam keadaan membaik.
Tiba-tiba sebelum pergi, sang adik menghampiri saya sambil melepas setengah gelang-nya, dan memberikannya kepada saya.

Dia tak bilang apa-apa, dia tidak bisa bahasa indonesia. Dia hanya tersenyum takut-takut, sambil mengangsurkan gelang2gelang itu dan memandang saya dengan dua bola mata raksasa.

May be that's her way to say 'thank you' to me.

Sedetik saya terharu.

berikutnya hati saya menghangat, menghadirkan senyum lebar di wajah saya.

"Cepat sembuh ya, dik"

-uma-

No comments:

Post a Comment