Pernah lihat cerita tentang
suku pedalaman yang tidak bisa baca tulis dan berbahasa nasional?
Saya setiap hari berinteraksi
dengan mereka,
Hahahaa..
Di tempat saya ini berdiam
sekitar tujuh suku pedalaman. Semuanya tersebar di atas gunung, lereng gunung,
lembah, rawan longsor, terselimut kabut. Mereka bukan orang bersekolah. Tidak
bisa baca tulis. Masih menggendong anaknya seenaknya dengan jaring-jaring tipis
yang terlihat anak itu bisa jatuh kapan saja. Makan makanan dengan rasa hambar
tidak enak, dengan kecukupan gizi yang gak usah ditanya lagi.
Mereka hidup bersama anjing
dan babi peliharaannya, malah kadang saya mendapat kesan orang2 ini lebih
sayang babi daripada anak kandung mereka. Saya malah pernah mendapat cerita,
seorang pengemudi mobil tidak sengaja menabrak salah satu peliharaan, dan
diharuskan mengganti rugi puluhan juta. Wuuah.. Haa.. Haa..
One of my favourite part is
playing with native children. Mereka jarang juga yang mengerti bahasa nasional,
tapi mereka sering berlama-lama menatap saya dengan kedua bola mata raksasa,
antara penasaran, tapi takut mendekat.
Dengan bahasa universal
seluruh penghuni jagad raya, saya berkomunikasi dengan mereka dengan: Smiling.
Hahhaaa. Senyum lebar beberapa detik sampe gigi kering, dan mereka akan
menghampiri saya malu-malu. Aduh susah bener dah..
One day, saya ada pasien
seorang anak yang kakinya sakit tak bisa berjalan karena penyebaran infeksi,
bla bla bla sehingga dia harus dirawat di RS. There's her little sister, who
always love to play with me. Kenampakannya seperti anak kecil biasa, dengan
puluhan karet gelang melingkar di kedua lengan kecilnya.
"Ini semua gelang. Dia (Adik)
sudah kumpulkan lama. Semua warna begini. Dia (adik) suka."
Sehari- hari saya bermain
dengan mereka. Menggenggam tangan legam sang kakak, menyemangati dan
memarahi-nya supaya mau belajar berjalan.
Tiba suatu hari dia sudah
bisa berjalan sendiri, menggunakan tongkat atau berpegangan pada apa saja di
sekitarnya. Tiba juga waktunya untuk pulang. Saya seperti biasa, membekali dia
pulang dengan bermacam obat dan pesan-pesan for her improvement. Saya
melambaikan tangan dengan ceria, riang hati melihat salah satu pasien saya
pulang dri RS dalam keadaan membaik.
Tiba-tiba sebelum pergi, sang
adik menghampiri saya sambil melepas setengah gelang-nya, dan memberikannya
kepada saya.
Dia tak bilang apa-apa, dia
tidak bisa bahasa indonesia. Dia hanya tersenyum takut-takut, sambil
mengangsurkan gelang2gelang itu dan memandang saya dengan dua bola mata
raksasa.
May be that's her way to say
'thank you' to me.
Sedetik saya terharu.
berikutnya hati saya
menghangat, menghadirkan senyum lebar di wajah saya.
"Cepat sembuh ya,
dik"
-uma-