Saya mau jadi apa?
Kadang-kadang terlalu banyak
pilihan bukannya terasa berkah, tapi malah jadi hal yang membingungkan.
Apakah wise kalau tetap
kepala batu berusaha memperjuangkan cita-cita yang kehidupannya akan dijalani
di bawah stigma?
Apakah akan lebih baik jika memilih
cita-cita "nomor dua", yang kira-kira lebih community suitable dan
ber-masa depan cerah, yang sebenernya lebih dikuasai?
Ada bagusnya juga kita
membuat jurnal atau catatan kehidupan, supaya suatu saat bisa kita baca lagi,
untuk diambil pelajaran atas masa lalu kita sendiri, atau sekedar menghibur
sambil mengingat memori menyenangkan.
Untuk saya, itu berlaku buat
hari ini.
Membuka catatan SMP, dimana
ibu Ratna, guru BK (bimbingan Konseling) yang baik hati, meminta murid-murid
menuliskan "apa hal yang menurutmu penting di masyarakat, dan apa kira
kira hubungannya dengan profesi cita-citamu nanti".
Dan saya ingat betul, saya
membaca tulisan essai saya di depan kelas. "Yang penting untuk masyarakat
adalah kesehatan mental. Dengan mental yang baik kemajuan masyarakat juga mudah
di raih. Untuk itu saya bercita-cita menjadi dokter otak, sehingga bisa
berperan dalam menyehatkan mental orang-orang."
Dokter otak? Hahahaa apa
itu...
(Bunuh saja sayaaaa)
Membuka catatan harian SMU,
yang dibuat bersama teman teman sekelas. Saya membaca satu tulisan saya sendiri
(topiknya nggak begitu penting sebenernya), and I was sign it as : Prof. DR.
Dr. Kusuma ,S.Psikiater.
Tuhaan... Gelar macam apaa
lagi itu. Hahahhaa...
(Bunuh saja sayaaa, dua
kaliii)
Membuka Buku Sumpah Dokter,
dimana semua org di foto dengan tema "Follow Your Dream"... And I
found myself dressed formally as a therapist/psychiatrist.
( Hoho Actually dulu itu saya
nggak sengaja memilih tema itu, saya hanya mau kelihatan chic dan beda dengan
teman-teman lain. Hohoho..)
Dilemma saya terjawab oleh tebaran
kode-kode dari masa lalu.
Kok bisa nggak sadar ya?
- Kusuma Minayati -
P.S.
Bismillaahirrahmanirrahiim, saya maju! :D